Pengunaan pestisida sintetik yang selama ini di gunakan oleh masyarakat memiliki dampak yang sangat efektif, terlihat dari ketergantungan para petani yang selalu mencari peptisida sintetik untuk membasmi hama pada tumbuhan. Ditinjau dari segi penekanan populasi hama, penggunaan peptisida sintetik berhasil baik, namun perlu diingat bahwa adanya efek samping yang tidak diinginkan. Penggunaan pestisida sintetik telah menimbulkan dampak negatif, baik itu bagi kesehatan manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Dampak negatif ini akan terus terjadi seandainya kita tidak hati-hati dalam memilih jenis dan cara penggunaannya.

Hal itu kemudian memiliki dampak negatif yang akan terjadi akibat penggunaan pestisida, pengunaan peptisida sintetik pada tanaman sesunguhnya selalu terdistribusi ke dalam akar, batang, daun, dan buah. Pestisida yang sukar terurai akan berkumpul pada hewan pemakan tumbuhan tersebut termasuk manusia. Secara tidak langsung dan tidak sengaja, tubuh mahluk hidup itu telah tercemar pestisida. Pengaruh penggunaan peptisida sintetik secara berlebihan adalah (a) kematian organisme bukan sasaran (b) terjadinya resistensi dan resurgensi hama sasaran apabila digunakan peptisidasintetik terus menerus dan (c) residu peptisida sintetik pada bahan makanan (Oka, 1995). Untuk mengurangi pengunaan peptisida dalam kehidupan kemudian Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan regulasi tentang ambang batas residu pestisida pada bahan makanan yang aman untuk dikonsumsi manusia. Di Indonesia peraturan tentang residu pestisida pada pangan diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian RI No. 881/MENKES/SKB/VIII/1996 dan No. No. 711/Kpts/TP270/8/96, dan Peraturan Menteri PertanianNo. 27/PerMentan/PP.340/5/2009 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada hasil pertanian.

Aturan yang dibuat itu kemudian digunakan berdasarkan akibat yang akan ditimbulkan oleh peptisida sintetik terhadap kehidupan manusia, hal ini dikarenakan pestisida tidak hanya beracun bagi hama, tetapi dapat juga mematikan organisme yang berguna seperti musuh Alami, dan bahkan manusia, maka agar terhindar dari dampak negatif yang timbul, penyimpanan dan penggunaannya harus dilakukan secara hati-hati dan dilakukan sesuai petunjuk, bahkan mengunakan formulasi baru untuk mengganti peptisida sintetik atau mengurangi frekuensi penguanan peptisida sintetik.Untuk mengurangi frekuensi penggunaan pestisida sintetik salah satunya adalah menggantinya dengan pestisida dari bahan nabati atau alam sekitar. Pestisida nabati atau biopeptisida dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik.

Mekanisme non toksis merupakan mekanisme membunuh hama atau pun gulma dengan menekan bagia vital pada hama atau gulma, sedangkan jenis tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai biopeptisida sangat begitu banyak. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili. Namun kebanyakan dari jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai peptisida dan repelen.

Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan untuk peptisida adalah tumbuhan kirinyu, yang dimana tumbuhan ini merupakan tumbuhan rawa yang sering orang lombok menyebutnya dengan tanaman PKI, tumbuhan ini juga merupak tumbuhan yang tergolong tumbuhan monokotil, tumbuhan kirinyu memiliki kandungan kimia seperti terpenoid, steroid dan fenil propan. Dari kandungan kimia tumbuhan kirinyu ini kemudian memiliki mekanisme kerja dalam membunuh hama sama seperti peptisida sintetik. Mekanisme kerja tumbuhan kirinyu merupakan cara yang dilakukan oleh kandungan tumbuhan kirinyu dalam membunuh hama tanaman itu sendiri. Tumbuhan kirinyu merupakan tumbuhan rawa yang masuk ke divisi tumbuhan berpembuluh. Kirinyu (Eupatoriumodoratum) merupakan famili dari compositae, yang berupa tumbuhan herba yang agak besar, dengan ciri-ciri tumbuhan merupakan tumbuhan monokotil dengan kondisi memiliki bercabang, batang lembut, tumbuh sangat cepat, sehingga dalam waktu yang singkat dapat membentuk semak yang tebal.

Adapun daun kirinyu berbau spesifik serta berbentuk segitiga tumpul arah kepangkal, dan segitiga lancip arah keujung, ujung daun memanjang dan meruncing, pinggir daun bergerigi kasar secara merata, permukaan berbulu halus dan tersusun berhadap-hadapan, bunga berbentuk bangol, kecil-kecil dan banyak, berwarna biru pucat keungu-unguan dan mengelompokkan pada bagian ketiak daun sebelah ujung. Adapaun bagian tanaman kirinyuh yang digunakan untuk biopeptisida atau peptisida nabati adalah bagian daun, dimana daun kirinyu mengandung berapa zat kimia yaitu senyawa tanin, alkaloid, polifenol, kuinon, flavonoid,steroid, triterpenoid, monoterpen, dan seskuiterpen (Tamrin, 2004). Sedangkan Febrianti (2012) mengatakan bahwa tumbuhan kirinyu mengandungtanin, alkaloid, flavonoid, dan seskuiterpenoid.

Kontributor: Safprada SP (POPT Ahli Pertama)