Pertanian ramah lingkungan adalah pertanian yang mengedepankan teknik budidaya yang sehat dan tidak mencemari lingkungan yaitu dengan memasukkan bahan-bahan pengendali non kimia sintetis. Hasil dari pertanian ramah lingkungan ini tentu berupa bahan makanan yang sehat. Bahan makanan sehat adalah pilihan setiap keluarga. Apapun profesinya, bagaimanapun kondisi ekonominya jika disuruh memilih antara makanan sehat dan tidak, tentu semuanya akan memilih makanan yang diketahui sehat tersebut.

Untuk mendapatkan bahan makanan sehat, bukan hanya kita sebagai konsumen saja yang bertanggungjawab dalam hal memilah dan memilih. Akan tetapi, dari mana bahan makanan sehat itu berasal juga perlu berbenah.  Dalam hal ini, peran petani dalam menyajikan bahan makanan sehat tidak kalah penting. Hampir semua makanan yang kita konsumsi (Pangan dan sayur mayur) bersumber dari lahan pertanian. Belakangan ini dunia pertanian semenjak digulirkannya revolusi hijau demi menjawab kebutuhan pangan penduduk bumi yang pertumbuhan jumlah jiwa setiap detiknya selalu mengalami peningkatan, memaksakan berbagai macam cara untuk meningkatkan hasil produksi. Selain itu, adanya revolusi hijau juga member dampak kepada petani sebagai agen produksi dimana mereka diarahkan kepada teknologi input usaha tani yang tidak sehat.

Demi mendapatkan hasil produksi yang meningkat, sarana produksi yang sudah pasti digunakan adalah pupuk dan pestisida sintetis yang keduanya tak terpisahkan dalam dunia pertanian. Bukan hanya ketergantungan bahan kimia, namun juga penggunaan racun kimia yang berlebih masih saja ada dalam kegiatan budidaya terutama dalam pemeliharaan sayur-mayur dan tanaman pangan.

Hampir semua pelaku usaha tani melakukan hal tersebut. Memang kita tidak bisa menjastifikasi bahwa pestisida adalah sesuatu yang tidak boleh digunakan. Hanya saja, kita sebagai pelaku usaha tani (Petani) harus lebih bijak dalam mengaplikasikan pestisida tersebut, salah satunya dengan memperhatikan kaidah-kaidah atau aturan yang diberikan baik oleh pemerintah maupun oleh perusahaan produsen pestisida.

Sangat disayangkan, kenyataan di lapangan jauh berbeda dari harapan di atas, bijak dalam penggunaan pestisida seperti hanya sebuah mimpi. Seringkali di daerah-daerah dengan komoditi sayur-mayur, ditemukan penggunaan pestisida dengan dosis tinggi, yang mana hal tersebut ternyata dianggap wajar. Salah seorang petani meng-aplikasikan petisida pada tanaman bawangnya. Dosis yang digunakan tidak lagi mengacu pada dosis yang disarankan pada label kemasan. Dalam aplikasi sering kali 1 botol pestisida jenis Insektisida di larutkan dalam 15/20 liter air, atau 1 botol untuk satu tangki. Beberapa contoh fakta yang dipaparkan tersebut tentu sudah melanggar kaidah 6 tepat, yaitu tepat dosis.

Sebagian petani saat ditemui dan diberi masukan terkait dosis pengaplikasian pestisida, seringkali berdalih dengan alasan agar hama yang menyerang tanaman bisa terkendali dalam waktu yang singkat. Padahal, argument tersebut keliru, karena penggunaan pestisida sintetis yang tidak sesuai anjuran atau tidak tepat dapat memberikan dampak negatif terhadap petani itu sendiri dan juga konsumen. Salah satu contoh dampak negative pengaplikasian pestisida yang tidak tepat adalah seringnya kita mendengar berita baik di media social maupun di media mainstream tentang petani yang keracunanan saat sedang mengaplikasikan pestisida pada tanamannya. Selain berdampak pada petani, konsumen dan lingkungan sekitar juga tidak luput dari dampak buruk penggunaan pestisida yang berlebihan. Residu pestisida yang begitu besar akan masuk ke dalam tubuh manusia dan bisa menyebabkan berbagai masalah pada tubuh, serta lingkungan dan organisme yang bermanfaat juga akan terganggu keseimbangannya.

Perlu diketahui, selain dampak yang disebutkan di atas, ternyata pestisida juga disinyalir dapat memicu ledakan hama akibat resistensi terhadap bahan aktif atau bahan kandungan pestisida kimia sintetis. Adanya gejala atau perubahan sensitif terhadap bahan aktif pestisida yang diaplikasikan sering kali terjadi. Sebagai salah satu contoh, resurgensi ulat grayak pada bawang merah (Spedoptera Exigua) setelah di semprotkan insektisida justru mengalami peningkatan populasi dengan perkembangan hama yang begitu cepat. Resurgensi sendiri merupakan sebuah fenomena meningkatnya populasi hama setelah mendapat perlakuan bahan pelindung tanaman kimia sintetis (insektida). Fenomena semacam ini sering juga terjadi. Kejadian ini bisa saja  memunculkan atau meningkatkan status suatu jenis hama yang sebelumnya bukan hama utama menjadi utama.

Perlu adanya suatu konsep dalam mengendalikan hama penyakit tanaman (HPT) yang lebih bersahabat dengan alam. Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di gadang-gadang sebagai konsep yang mengedepakan kelestrian dan kesehatan lingkungan, termasuk manusia didalamnya. Munculnya konsep ini setelah penggunaan bahan kimia pertanian  yang berlebihan dimuka bumi. Hadirnya konsep PHT juga di sinyalir sebagai koreksi terhadap kesalahan kita sebagai pelaku usaha tani dengan memunculkan tujuan yaitu diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.

Dalam penerapan Konsep PHT, Penggunaan Bahan Pengengendali kimia sintetis tidak dilarang secara mutlak, akan tetapi ada kaidah-kaidah yang mesti di lalui. Penggunaan bahan kimia ini menjadi sejata atau amunisi terakhir dalam pengendalian setelah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian semisal, status populasi hama berada di atas Ambang Batas Ekonomi, yaitu batas populasi hama menyebabkan lebih banyak mengakibatkan kerusakan daripada biaya pengendaliannya. Dalam tulisan ini penulis mengajak semua pihak untuk mengedepakan prinsip-Prinsip PHT yang selalu kita dengung-dengungkan sebagai landasan dalam mengamankan produksi, supaya tidak hanya hasil yang meningkat tapi apa yang di hasilkan dari produksi aman untuk di konsumsi oleh masyarakat.

Kontributor: Safprada RHA, SP (POPT Ahli Pertama)